.......
Rumah baru Ningsih lebih besar dari sebelumnya, ia pun bahagia bisa mempunyai kamar sendiri. Ningsih baru menyadari, sering melihat sosok menyerupai ayah atau ibunya. Saat itu Ningsih turun dari tangga dan melihat ayahnya berjalan menuju ruang tamu. Setelah Ningsih berada dibawah, ia melihat ayahnya sedang di dapur kemudian bertanya,
“Ayah, bukankah barusan Ayah pergi ke depan?”
“Ayah dari tadi disini”
Ibu Ningsih tidak pernah membesar-besarkan kejadian yang Ningsih alami, karena ibu Ningsih pun pernah mengalami hal serupa dirumah baru itu. Tak sedikit orang yang membicarakan rumah itu, apalagi penduduk setempat yang tahu persis rumah itu sebelumnya adalah rawa. Konon katanya seseorang pernah melihat ular besar melintas dirawa sehingga banyak orang yang takut untuk melewati rawa tersebut. Ya, ayah Ningsih membeli tanah itu dengan harga murah.
Ayah Ningsih sudah tidak bekerja, jadi keseharian ayah yaitu membereskan pekarangan rumah. Tanpa sengaja ia menemukan sebuah cangkang keong berwarna biru. Karena ayah merasa cangkang keong tersebut warnanya unik, Ayah pun membersihkan cangkang tersebut dan menyimpannya. Malam hari, ayah mimpi bertemu sosok perempuan cantik berbaju putih bak putri, perempuan itu dalam mimpi berkata,
“Kembalikan aku ketempat semula”
Sontak ayah terbangun dan keesokan harinya ayah mengembalikan cangkang keong itu ke pekarangan rumah. Ia kubur cangkang itu dan tak ingin mengganggu pekarangan lagi. Jadi ayah meminta orang lain untuk membersihkan pekarangan.
Sedangkan Ningsih, ia sudah asyik bergaul dengan teman baru. Seperti biasanya ia mengaji dan pulang setelah waktu isya. Teman-temannya menakuti Ningsih, bahwa jembatan yang Ningsih lewati angker. Ningsih tak pernah pulang ngaji sendirian, ia ditemani adiknya. Walau di lubuk hatinya ia merasa takut.
Saat Ningsih pergi mengaji, jam 18.15, ia melewati gang, ia berpisah dengan adiknya karena adiknya pergi ke mesjid. Gang tersebut gelap, tidak ada lampu dan hanya cukup dilewati untuk satu orang saja. Setelah keluar dari gang, beberapa rumah penduduk terlihat, Ningsih terperangah melihat po*ong berdiri di rumah bilik. Hatinya tak karuan dan segera lari melewati gang tadi dan pulang menuju rumah. Ia tak jadi mengaji.
Adik tiba dirumah dan berbicara pada Ningsih bahwa ia mencari-cari Ningsih. Ningsih menceritakan kejadian itu. Adiknya meminta Ningsih untuk pergi mengaji sebelum matahari terbenam. Ningsih mengikuti sarannya.
Bersama adik dan teman sepengajian, Ningsih mengikuti kegiatan pencak silat khas Cianjuran. Orangtua Ningsih sangat mensupport. Selama latihan, Ningsih belum sampai ke tahap belajar tenaga dalam. Adik Ningsih lebih aktif dan lebih responsif dalam mempelajari pencak silat. Pemimpin pencak silat tersebut yaitu guru ngaji Ningsih. Suatu ketika rombongan mereka pergi untuk mendalami pencak silat, mendatangi rumah guru nya guru (Suhu). Disana, Suhu memperlihatkan jurus sapu jagad. Semua takjub melihat dan merasakan secara langsung gerakan demi gerakan Suhu. Rombongan diwajibkan mandi di kolam tepat di belakang rumah suhu, sedangkan bagi perempuan cukup mandi di kamar mandi yang sudah disediakan. Setelah semua selesai, ada salah satu dari rombongan, anak laki-laki usia 18 tahun, dia menggigil kedinginan sedangkan yang lain tidak. Tak lama dari itu dia kesurupan. Meronta tak jelas, membuat rombongan ketakutan. Suhu dan guru ngaji membawa dia ke ruangan tertutup. Ningsih dan yang lainnya menunggu mereka untuk pulang, hari sudah larut malam.
Saking enjoy dengan kegiatan, Ningsih lupa dengan tragedi kesurupan itu, bahkan ia tak begitu kenal dengan dia. Setelah dua minggu berlalu, guru ngaji Ningsih memanggil Ningsih, ditemani istrinya, mereka berbicara.
“Kamu masih ingat lelaki kesurupan tempo hari?”
“Kenapa?”
“Sesepuh yang masuk ke raga lelaki itu berkata, “ lelaki ini punya niat buruk”. Setelah dia sadar, dia mengaku tujuan dia ikut adalah untuk minta pelet.”
“Apa?” Ningsih terkejut.
“Iya, dia mengaku bahwa dia suka sama kamu Ningsih.”
Sejak itu, Ningsih tidak respect pada lelaki itu. Apalagi kejadian Ningsih pernah melihat Po*ong, di dinding rumah dia. Ningsih tidak takut pelet, guru menjamin bahwa Ningsih tidak akan kena pelet dia.
Ayah Ningsih sudah tidak bekerja, jadi keseharian ayah yaitu membereskan pekarangan rumah. Tanpa sengaja ia menemukan sebuah cangkang keong berwarna biru. Karena ayah merasa cangkang keong tersebut warnanya unik, Ayah pun membersihkan cangkang tersebut dan menyimpannya. Malam hari, ayah mimpi bertemu sosok perempuan cantik berbaju putih bak putri, perempuan itu dalam mimpi berkata,
“Kembalikan aku ketempat semula”
Sontak ayah terbangun dan keesokan harinya ayah mengembalikan cangkang keong itu ke pekarangan rumah. Ia kubur cangkang itu dan tak ingin mengganggu pekarangan lagi. Jadi ayah meminta orang lain untuk membersihkan pekarangan.
Sedangkan Ningsih, ia sudah asyik bergaul dengan teman baru. Seperti biasanya ia mengaji dan pulang setelah waktu isya. Teman-temannya menakuti Ningsih, bahwa jembatan yang Ningsih lewati angker. Ningsih tak pernah pulang ngaji sendirian, ia ditemani adiknya. Walau di lubuk hatinya ia merasa takut.
Saat Ningsih pergi mengaji, jam 18.15, ia melewati gang, ia berpisah dengan adiknya karena adiknya pergi ke mesjid. Gang tersebut gelap, tidak ada lampu dan hanya cukup dilewati untuk satu orang saja. Setelah keluar dari gang, beberapa rumah penduduk terlihat, Ningsih terperangah melihat po*ong berdiri di rumah bilik. Hatinya tak karuan dan segera lari melewati gang tadi dan pulang menuju rumah. Ia tak jadi mengaji.
Adik tiba dirumah dan berbicara pada Ningsih bahwa ia mencari-cari Ningsih. Ningsih menceritakan kejadian itu. Adiknya meminta Ningsih untuk pergi mengaji sebelum matahari terbenam. Ningsih mengikuti sarannya.
Bersama adik dan teman sepengajian, Ningsih mengikuti kegiatan pencak silat khas Cianjuran. Orangtua Ningsih sangat mensupport. Selama latihan, Ningsih belum sampai ke tahap belajar tenaga dalam. Adik Ningsih lebih aktif dan lebih responsif dalam mempelajari pencak silat. Pemimpin pencak silat tersebut yaitu guru ngaji Ningsih. Suatu ketika rombongan mereka pergi untuk mendalami pencak silat, mendatangi rumah guru nya guru (Suhu). Disana, Suhu memperlihatkan jurus sapu jagad. Semua takjub melihat dan merasakan secara langsung gerakan demi gerakan Suhu. Rombongan diwajibkan mandi di kolam tepat di belakang rumah suhu, sedangkan bagi perempuan cukup mandi di kamar mandi yang sudah disediakan. Setelah semua selesai, ada salah satu dari rombongan, anak laki-laki usia 18 tahun, dia menggigil kedinginan sedangkan yang lain tidak. Tak lama dari itu dia kesurupan. Meronta tak jelas, membuat rombongan ketakutan. Suhu dan guru ngaji membawa dia ke ruangan tertutup. Ningsih dan yang lainnya menunggu mereka untuk pulang, hari sudah larut malam.
Saking enjoy dengan kegiatan, Ningsih lupa dengan tragedi kesurupan itu, bahkan ia tak begitu kenal dengan dia. Setelah dua minggu berlalu, guru ngaji Ningsih memanggil Ningsih, ditemani istrinya, mereka berbicara.
“Kamu masih ingat lelaki kesurupan tempo hari?”
“Kenapa?”
“Sesepuh yang masuk ke raga lelaki itu berkata, “ lelaki ini punya niat buruk”. Setelah dia sadar, dia mengaku tujuan dia ikut adalah untuk minta pelet.”
“Apa?” Ningsih terkejut.
“Iya, dia mengaku bahwa dia suka sama kamu Ningsih.”
Sejak itu, Ningsih tidak respect pada lelaki itu. Apalagi kejadian Ningsih pernah melihat Po*ong, di dinding rumah dia. Ningsih tidak takut pelet, guru menjamin bahwa Ningsih tidak akan kena pelet dia.
Comments
Post a Comment